Kitab : Al-Jawahir Al Makhfiyyah
Judul : Zuriat Keturunan Bukan Jaminan Syurga
Disusun oleh : Mohammad Amri Yusof
Ditulis oleh : Sallehudin Bin Sufi
Dikarang oleh : Ahmad Fahmi Hadiid Syams Al Makhfiy
Godaan kepada keturunan Waliyullah / Sayyid (keturunan para zuriat Rasulullah) dijelaskan bahawa, mereka ditandai" oleh iblis dengan tanda khusus, yang jangan sampai mereka mengikuti jejak para leluhurnya dan mendorong dengan hanya membangga-banggakan leluhurnya. Juga godaan iblis untuk para Alim Ulama' (orang yang berilmu Agama dan menyampaikan ilmunya / murid-muridnya) akan ditiupkan rasa senang akan pujian-pujian dan pujaan-pujaan kepada dirinya, didorong untuk hubbuddunia.
Pengarang menuliskan "Sesuai dengan hadis Rasulullah bahwa, tidak akan masuk ke dalam syurga orang-orang yang menjadi Al-qolla (penjilat penguasa / tunduk kepada orang kaya) dan Rasulullah mengenali umat baginda (umat yang mengikuti sunnah Rasulullah) kelak di hari Kebangkitan seperti mengenali anak kandung sendiri. Rasulullah laksana orang yang buta (tidak melihat sama sekali) kepada ummatnya yang kufur, musyrik dan hubbuddunia (tamak dan berhati kasar) walaupun umat itu adalah keturunan Rasulullah sendiri".
Namun jangan sampai menghina ulama. Siapa yang menghina Ulama (yaitu menyakiti hatinya dan mencelanya) maka ia telah memancing kemurkaan Allah. Walaupun banyak ilmunya (ilmu orang yang mencela Ulama) dirinya akan seperti batu yang terkikis titisan air, perlahan tapi pasti akan hancur lebur. Kecuali dia yang bertaubat atas perbuatannya itu (benar dalam taubatnya) menyadari kesalahannya. Dia tidak akan diampuni Allah hingga Ulama' yang dicelanya itu mengampuninya. Masih lah terkikis dirinya itu walaupun di lidahnya membaca istighfar seribu kali setiap harinya.
Jika Ulama itu bernasab darahnya kepada para Waliyullah atau bernasab ilmunya kepada Waliyullah maka orang yang mencelanya sedang berhadapan dengan hukuman Allah setiap hari. Akan menjadi sempit hidupnya dan rosak amalnya, sakit hatinya akan bertambah-tambah sebelum ia meminta maaf kepada Ulama yang dicelanya.
Catatan :
Yang banyak ilmunya saja tidak terampuni dosanya jika ia mencela Ulama. Walaupun hanya seorang guru mengaji biasa. Sudah jelas larangan itu untuk tidak mencela Ulama' meskipun dengan dalil dan alasan sebab bertentangan dengan prinsip atau hal lainnya. Jangan rosakkan amal baik hanya dengan satu kalimat celaan kepada Ulama' manapun walau hanya dalam hati.
“Saudaraku yang dimuliakan oleh Allah, perkenankan kami sekadar menyampaikan karena kewajiban kita untuk saling mengingatkan. Jangan terjebak dengan pujukan syaitan iblis laknatullah, ini bukan permainan, hidup hanya sekali bukan undian yang boleh diulangi atau perkiraan dalam mempelajari dan memahami. Perlukah kita pertaruhkan diri kita dan akhirat dengan pujukan syahwat?
Memang telah jelas bahawa semua umat telah mendengar dan memahami hal ini iaitu tentang umat Muhammad adalah umat terbaik. Seperti yang dikatakan: 'kuntum khoiro ummatin ukhrijat linnasi”. Tapi penjelasan disini jangan sampai kita merasa lebih baik dari siapapun dan apapun, bahkan dari seluruh makhlukNya. Apakah kita tidak diwajibkan untuk belajar dan cukup hanya membenarkan penjelasan yang justeru menyebabkan umat perlahan masuk ke dalam keburukan akhlak? Dengan tegas dan jelas bahwa kita dilarang membandingkan waliyullah dengan Nabi, wali allah pun tidak pernah mengakui dirinya sebagai wali, dan Nabi itu maksum.
Mari kita memahami kisah-kisah dahulu, dari isi pesan baginda Nabi Muhammad SAW dalam khutbatul wada', kisah Qabil dan Habil, serta nabi-nabi yang dimuliakan Allah atas kaumnya dalam Al Qur`an beserta kisah Nabi Ibrahim. Manusia yang bukan Nabi juga disejajarkan dengan keluarga Nabi, disebutkan kisah Luqman Al Hakim dan keluarga Imran. Dan kisah Khidir bersama Nabi Musa a.s. Sehingga kita akan sangat berhati-hati jika membaca tulisan atau menyampaikan pendapat riwayat yang menjelaskan bahwa "Nabi Adam a.s iri dengan ummat Nabi Muhammad saw". Meskipun secara riwayat bermakna benar.
Setiap Nabi diuji dan diberi cobaan yang kadarnya jauh lebih berat dibanding kita yang bukan Nabi. Asasnya masih sama mari mengambil ibrah (pengajaran) penjelasan dalam Al Baqarah ayat 31-39. Ayat tersebut berkisahkan kepada Iblis yang membanggakan diri tidak mahu menghormati Adam a.s. Bukanlah main-main dalam mengenal Allah dan bersyukur, bukan atas dasar membanggakan diri, ingat kita akan dikembalikan kepada Allah dan kepadaNya. Kita akan dipertanggungjawabkan. Mengenal Allah itu adalah asas dalam menjadi hamba yang baik sesuai tujuan diciptakan. Apakah kita akan membantah kisah Ali Zainal Abidin dan membantah isi dari Surah Al Mukminun 101 ? Apakah kita akan terus ghuluw (berlebihan) dengan membandingkan keturunan ayah yang sama Nabi Adam as, apakah kita akan menghapus ayat inna akromakum indallahi atqaakum? Telah lama kami diam mendengar penjelasan yang berlebihan, kami hanya diam dan takzim (hormat) siapapun akan dimuliakan oleh Allah sesuai dengan ketakwaannya. “Allohummaghfirlanaa wa zaujaatina wadzuriyyatina... ya Ghofururrohiim...
Saudaraku yang dimuliakan Allah janganlah kita membanggakan keturunan atau nasab dan janganlah memperdebatkannya. Allah SWT berfirman: “Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mukminun:101) Iman itu tak dapat diwarisi, demikian pula kehormatan diri apalagi keselamatan di akhirat nanti. Tak hanya di hari kiamat dan di hadapan Allah, bahkan di dunia dan di mata manusia pun semua itu berlaku. Keturunan orang terhormat tapi rosak akhlak, di mata manusia tetap akan dipandang rendah sebagai manusia yang tak bermartabat. Kalaupun ada yang memaksakan diri menghormati, hal itu pasti dilakukan dengan menipu hati nurani. Sebaliknya, meskipun keturunan penjahat tapi dengan hidayah Allah menjadi mukmin yang soleh dan taat, orang pasti akan menaruh segala hormat. Bahkan ini juga berlaku bagi keturunan Nabi sekalipun. Kemuliaan didapatkan bukan karena faktor kekerabatan dan keturunan, tapi karena iman dan ketaatan. Hal ini dapat dibuktikan dari salah seorang keturunan Nabi SAW, Ali Zainal Abidin.
Suatu ketika Thawus bin Kisan melihat Ali Zainal Abidin sedang meratap penuh gelisah di hadapan Ka’bah. Seakan-akan dia sedang berada di ambang kehancuran. Terdengar tangisnya yang tersedu-sedu, diiringi do'a memohon perlindungan kepada Allah. Thawus berhenti. Setelah tangis mereda, Thawus mendekat dan berkata, “Wahai cucu Rasulullah, Aku melihat anda meratap sedih, padahal anda memiliki tiga keutamaan yang dapat membuat anda merasa aman.” Ali bertanya, “ Apa tiga keutamaan itu?” Thawus menjawab, “Pertama anda cucu Rasulullah. Kedua, anda boleh mendapatkan syafaat dari datuk anda. Ketiga, anda akan mendapat rahmat Allah.” Ali Zainal Abidin menjawab, “Wahai Thawus! Sekalipun aku keturunan Rasulullah, namun keturunan itu tidak menjadikan diriku aman dari rasa takut akan siksa Allah. Itu setelah aku membaca firman-Nya,
“Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (QS. Al Mukminun:101)